Jumat, 14 Juli 2023

Pseudosains Apa itu ?!

Pseudosains terjalin kala keadaan non-sains dicoba untuk diklaim sebagai sains kala terjalin permasalahan ataupun keragu-raguan. Pseudosains timbul pada saat masyarakat mengklaim jika mereka telah membuktikan dengan cara objektif. Di tengah tawaran-tawaran postmodernisme yang membuka peluang lebar bagi pendekatan relativisme, multivokalitas, pluralisme, multi dan trans-disiplin, pengetahuan yang berbasis pada apa yang disebut pseudosains berkembang sangat pesat. Istilah pseudosains pertama kali diperkenalkan oleh sejarawan James Andrews pada tahun 1796 untuk menyebut alkimia sebagai pseudosains yang fantastis.(Franklin, 2014) Istilah ini telah sering digunakan sejak pergantian abad ke-19, tetapi secara bertahap mendapatkan arti yang lebih negatif. Namun demikian,batas antara sains dan pseudosains cukup tipis. (Tanudirjo, 2017).

        Pseudoscience adalah bagian kecil dari yang tidak ilmiah. Secara umum, pseudo-scienceselalu memberikan kesan yang salah bahwa ia memiliki beberapa penalaran dasar yang sesuai dengan penalaran logis dari pengetahuan atau sains pada umumnya. Pseudoscience juga cenderung mengedepankan metodologi yang canggih dan akurat, dan berdiam di bawah otoritas ilmu tertentu. Sebagai pengganti otoritas, pseudosains sering mengklaim kebijaksanaan yang telah lama hilang dari masa lalu sebagai sumber penemuannya. Para pendukung pseudosains biasanya menganggap diri mereka seolah-olah telah mendekonstruksi teori lama, dan penemuan-penemuan baru mereka mampu memecahkan berbagai masalah atau mengungkap misteri yang belum diketahui.(Tanudirjo, 2017)

        Di pihak Karl Popper pernah mengajukan pendapat, bahwa suatu teori disebut ilmiah bila sudah diuji (testable). Sebuah tesis, baru dianggap ilmiah bila sudah dihadapkan pada berbagai pengujian yang mencoba menyangkal (falsifikasi) kebenaran tesis tersebut. Apabila suatu tesis tetap bertahan terhadap penyangkalan tersebut, kebenaran semakin kokoh. Semakin besar penyangkalan, semakin kokoh kebenaran ilmiahnya sehingga Popper menyebutnya “the thesis of refutability”. Untuk semua pernyataan ilmiah harus ada kemungkinan untuk dikritik, sebab hanya melalui proses dialektis, ilmu pengetahuan akan maju. Karena itu, pengetahuan yang salah pun mempunyai andil dalam proses kemajuan ilmu.(Sunarya, 2009)

        Lanjutnya bagi Popper, ilmu pengetahuan alam dan ilmu pengetahuan lainnya tidak berkembang karena suatu induksi, melainkan terus-menerus terbuka akan azas pemalsuan/penyangkalan (falsifikasi). Ilmu pengetahuan hanya suatu hipotesis, dan selama hipotesis itu berpeluang dengan kesalahan, maka ilmu akan berkembang dan disempurnakan (Sachari & Sunarya, 2016)

        Ditinjau dari perspektif filsafat ilmu, teori konspirasi yang berkembang dalam masyarakat tergolong ke dalam pseudosains atau sains semu. Pseudosains terdiri dari pernyataan, keyakinan, atau praktik yang diklaim sebagai ilmiah dan faktual, tetapi tidak sesuai dengan metode ilmiah. Selain itu pseudosains sering dicirikan oleh klaim yang kontradiktif dan berlebihan, bias konfirmasi; kurangnya keterbukaan untuk evaluasi oleh ahli lain; tidak adanya praktik sistematis saat mengembangkan hipotesis dan kaidah ilmiah lainnya.(Iskandar, 2020)

Hubungan antara Pseudosains dengan sains

        Pada dasarnya, sains berawal dari rasa ingin tahu manusia dan dengan itu manusia melakukan studi, penelitian, dan pengamatan mengenai apa yang ingin mereka ketahui lebih dalam. Sebagai contoh, dulu penyakit cacar pernah dianggap sebagai kutukan dari penyihir. Namun, begitu sains masuk dan mempelajari secara empiris, didapatkan fakta bahwa cacar adalah penyakit atau infeksi yang disebabkan oleh virus.

        Jika sains berawal dari studi dan penelitian ilmiah, tidak dengan pseudosains. Pseudosains lebih banyak melibatkan gagasan personal dan anggapan pribadi yang dapat menggiring opini ke arah yang menyesatkan. Contohnya infeksi cacar itu tadi, jika sains menganggapnya infeksi virus, pseudosains akan menganggapnya sebagai kutukan.(Anggara, 2020).

        Setiap cabang sains memiliki pseudosains pasangannya sendiri. Ahli geofisika menghadapi bumi datar, Bumi dengan sumbu naik-turun dengan liar benua-benua yang timbul dan tenggelam dengan cepat, belum lagi peramal gempa, Ahli fisika, segerombolan amatir penyangkal relativitas, dan barangkali fusi dingin. Ahli kimia menghadapi alchemist. Ahli psikologi menghadapi banyak bagian psikoanalisis dan nyaris seluruh parapsikologi sains merupakan jawaban untuk menangkal segala sesuatu yang berhubungan dengan pseudosains. Karena sains memuat literatur-literatur ilmiah yang ditulis oleh para ilmuwan setelah melewati tahap yang tidak singkat. Untuk menciptakan literatur harus ada peer review. Terdapat standar yang ketat untuk kejujuran dan akurasi. Dalam pseudosains, literatur-literatur yang ada tidak mengalami proses yang panjang yang dimulai dari review sampai publikasi, hal ini membuat pernyataan yang ditujukan tidak terdapat adanya standar untuk mencapai pernyataan yang valid.(Sagan, 1997).

        Secara umum, sains dan psudosaaians berbeda. Perbedaan ini secara jelas dapat dilihat pada tujuh poin berikut (Iqbal Nurul Azhar, 2012) :

1.      Dalam sains, literatur-literatur ilmiah yang ada ditulis bagi para ilmuwan. Untuk menciptakan literatur harus ada peer review. Terdapat standar yang ketat untuk kejujuran dan akurasi. Dalam pseudosains,  literatur-literatur yang ada ditujukan untuk masyarakat umum. Tidak ada review, dalam membuat literatur tersebut,  tidak ada standar serta tidak ada verifikasi pra-publikasi. Meskipun demikian masih terdapat tuntutan terhadap akurasi dan presisi literatur.

2.      Dalam sains, produk-produk ilmiah dapat direproduksi. Masyarakat menuntut hasil yang dapat diandalka. Segala eksperimen yang dilakukan harus dapat dijelaskan dengan tepat sehingga eksperimen tersebut  dapat diulangi secara presisi. Pengulangan ini dilakukan dalam rangka perbaikan hasil atau penerapan dalam kasus atau peristiwa lainnya. Sedangkan dalam pseudosains,  produk-produk psudo tidak dapat direproduksi atau diverifikasi. Meskipun ada studi atau eksperimen, tetapi begitu samar-samar digambarkan. Studi atau eksperimen tersebutpun prosedurnya kurang jelas sehingga masyarakat umum tidak mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan dalam studi atau eksperimen atau bagaimana hal itu dilakukan dalam studi atau eksperimen.

3.      Dalam sains, kegagalan dalam satu studi memang selalu dicari, karena teori-teori yang salah seringkali dapat membuat prediksi yang tepat meskipun itu karena faktor kebetulan. Dengan kegagalan ini akan tercipta teori yang benar. Ketika teori yang benar telah ditemukan prediksi yang dibuatkun tidak akan salah. Dalam pseudosains kegagalan akan selalu diabaikan, dimaafkan, disembunyikan, tidak dihitung,  dirasionalisasikan agar selalu benar, dilupakan, dan dihindari.

4.      Dalam sains, seiring dengan berjalannya waktu, semakin banyak orang yang belajar tentang proses fisik dalam berbagai penelitian. Dalam pseudosains tidak ada fenomena ataupun proses fisik yang ditemukan, dicatat atau dipelajari. Tidak ada kemajuan yang dibuat, Tidak ada hal konkrit yang dipelajari.

5.      Dalam sains, kelebihan, kekurangan, kesalahan dan blunder peneliti rata-rata tidak mempengaruhi “sinyal” keilmiahan studi. Dalam pseudosains, kelebihan, kekurangan, kesalahan dan blunder peneliti memberi pengarauh nol pada keilmiahan studi karena memang studi yang dilakukan tidak ilmiah sama sekali

6.      Dalam sains, masyarakat diyakinkan dengan bukti-bukti ilmiah,  argumen-argumen berdasarkan penalaran logis dan/atau matematika, dengan membuat kasus-kasus berdasarkan bukti-bukti empirik. Ketika bukti-bukti baru bertentangan dengan ide-ide/teori-teori lama, ide-ide/teori-teori lama tersebut ditinggalkan. Dalam pseudosains keyakinan masyarakat dibuat oleh iman dan keyakinan. Dalam hampir setiap kasus pseudosains memiliki unsur kuasi-religius yang sangat kuat. Pseudosains memiliki sifat mencoba untuk mengubah, bukan untuk meyakinkan. Masyarakat diminta untuk percaya lepas dari fakta, bukan karena mereka. Ide lama tidak pernah ditinggalkan meskipun  bukti bukti baru ditawarkan.

        Dalam sains, tidak ada konflik kepentingan, ilmuwan tidak memiliki orientasi materi tertentu dari studi yang dikerjakannya. Ini sangata berbeda dengan “Sains Sampah,”, yang mana ilmuwan memproklamirkan diri mereka sebagai ilmuwan,  tetapi sebenarnya  mereka dibayar dan bayaran mereka akan mereka dapatkan ketika hasail studi mereka sesuai dengan keinginan pihak-pihak tertentu. Dalam pseudosains terdapat konflik kepentingan ekstrim. Ilmuwan pseudo umumnya mendapatkan nafkah dengan menjual layanan pseudosains misalnya horoskop, prediksi, instruksi dalam mengembangkan kekuatan paranormal, dll

Manfaat Belajar Pseudosains

Mengapa masyarakat harus belajar mewaspadai Pseudosains dengan tujuan antara lain:

1.      Agar berhati-hati dengan pernyataan bombastis. Pseudosains biasanya menggunakan pernyataan atau klaim yang bombastis, yang belum tentu benar, untuk menarik perhatian masyarakat, agar masyarakat percaya kalau pernyataan tersebut benar. Sementara sains selalu berdasarkan bukti dan penelitian ilmiah. (Putra, 2020)

2.      Melakukan pembuktian Ilmiah. Pembuktian ilmiah selalu diawali dengan pertanyaan, kemudian diikuti dengan pengumpulan informasi sebanyak mungkin untuk membangun sebuah hipotesis, atau setidaknya dugaan atau prediksi yang memiliki dasar informasi ilmiah. Langkah berikutnya adalah melakukan ekperimen untuk menguji hipotesis tersebut. Pada ahirnya, sang ilmuwan harus membuat kesimpulan berdasarkan fakta yang diperoleh, apakah hipotesisnya diterima atau ditolak.(Iqbal Nurul Azhar, 2012)

3.      Berpikir kritis dan bersikap skeptis. Sains bukan sebatas kumpulan data maupun fakta, melainkan ia adalah sebuah cara berpikir. Frasa “cara berpikir” inilah yang kemudian harus ditekankan dan menjadi perhatian pada ruang-ruang diskursus pengetahuan.(Sagan, 1997)

Simpulan

        Istilah science dan knowledge ialah dua tutur yang tidak mudah untuk dibedakan ungkapan dua buah mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Akan tetapi kata science (ilmu) umumnya dipakai untuk istilah- istilah ilmu pasti yang mempunyai jangkauan lebih kecil, sedangkan knowledge ( wawasan) ialah sebutan yang pada biasanya guna mengatakan di luar ilmiu sains. Dan khususnya di Indonesia guna mempermudah penjelasan, sehingga sebutan sains serta knowledge diucap selaku “ ilmu pengetahuan”. Selain itu sebuah pengetahuan bisa di anggap sebagai ilmu jika pengetahuan itu sudah memenuhi persyaratan yang ada pada metode ilmiah. Dimana itu ada beberapa syarat agar pengetahuan bisa masuk menjadi sains. Seperti, objektif, metodis, sistematis, dan universal


        Sebaliknya pseudosains oleh beberapa pendapat menjelaskan kalau sebutan itu bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan, akan tetapi menyamai ilmu yang pada hakikatnya bukan ilmu (ilmu semu), sebab prosesnya berlawanan dengan tata cara keilmuan serta tidak bisa dibuktikan dengan cara emperik. Jika suatu pengetahuan tersebut tidak memenuhi persyaratan metode ilmiah maka hal tersebut termasuk dalam pseudosains.


DAFTAR PUSTAKA

Anggara, D. (2020). 5 Perbedaan Mendasar antara Sains dan Pseudosains yang Harus Dipahami. Www.Idntimes.Com. https://www.idntimes.com/science/discovery/dahli-anggara/perbedaan-mendasar-antara-sains-dan-pseudosains-c1c2?page=all

Franklin, A. (2014). Alan Sokal : Beyond the Hoax : Science , Philosophy and Culture Alan Sokal : Beyond the Hoax : Science , Philosophy and Culture. October. https://doi.org/10.1007/s11191-011-9371-2

Imran, A. (2019). Lesbian, Gay, Biseksual, Dan Transgender (Lgbt) Sebagai Penyakit Sosial. Jurnal Manajemen Dakwah FDIK IAIN Padangsidimpuan, 1(2), 209–230. http://jurnal.iain-padangsidimpuan.ac.id/index.php/Tadbir

Iqbal Nurul Azhar, D. R. Y. (2012). Sains dan Pseudosains. ETIMON, II. https://pusatbahasaalazhar.com/persembahan-buat-guru/sains-dan-Pseudosains/

Iskandar, I. (2020). Pandemi, Teori Konspirasi dan Pseudo-Sains. Https://Langgam.Id/. https://langgam.id/pandemi-teori-konspirasi-dan-pseudo-sains/

Kepner, C. H., & Tregoe, B. B. (2005). The new rational manager : an updated edition for a new world. BookBaby, 242.

Permatasari, Y. (2012). Fenomena Ramalan Golongan Darah Di Jepang Ditinjau Dari Konsep Kepercayaan Rakyat (Minkan Shinkō). Japanology, Journal of Japanese Studies, 1(1), 66–77.

Putra, A. P. (2020). Pseudosains dan Cara Menyaring Informasi yang Benar. Https://Pahamify.Com/. https://pahamify.com/blog/pahami-fun/sains-pahami-fun/pseudosains-dan-cara-menyaring-informasi-yang-benar/

Sabrina, F. N. (2021). Astrologi: Pseudosains yang Mengambil Alih Kesadaran Manusia. Referensi.Co. https://referensi.co/astrologi-pseudosains-yang-mengambil-alih-kesadaran-manusia/

Sachari, A., & Sunarya, Y. Y. (2016). Pengantar tinjauan desain (Issue July 2000). ITB.

Sagan, C. (1997). The Demon-Haunted World : Science as a Candle in the Dark. Headline Book Publishing.

Sunarya, Y. Y. (2009). Pembeda Sains dan Pseudo-Sains Bagi Lakatos ( Lanjutan Pendapat Popper dan Kuhn ). 1–6.

Tanudirjo, D. A. (2017). Reflection on the Production of Knowledge : 29(1), 3–11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Yuk ! Simak Peta materi kelas 5 Kurikulum Merdeka Sem 1 2024/2025

Gak serukan memulai tanggal ajaran baru tapi kita gak tahu materi apa yang harus kita ajarkan di kelas 5 di kurikulum baru ini. Nah bagi tem...